(Ikhwan Abidin Basri, MA)
Pendahuluan
Berbicara tentang teori penawaran dalam kerangka ekonomi Islam sebenarnya
merupakan kelanjutan dari pembahasan tentang teori permintaan dalam ekonomi
Islam. Sama halnya dalam ilmu ekonomi konvensional, dalam ilmu ekonomi Islam
pembahasan persoalan ini menyangkut faktor-faktor atau variabel-variabel yang
berpengaruh terhadap kedudukan penawaran suatu barang atau jasa tertentu.
Sebagian penjelasan tentang aspek penawaran dalam ekonomi Islam telah
diungkapkan dalam penjelasan tentang permintaan. Oleh karena itu dalam artikel
singkat ini hanya akan disinggung hal-hal yang dirasa penting dikaitkan dengan
perbedaan utama dari teori penawaran konvensional.
Penawaran dalam ilmu ekonomi konvensional
Dijelaskan bahwa penawaran berkorelasi positif terhadap harga (P). Ini
berarti bahwa semakin tinggi suatu harga produk, semakin memberikan insentif
kepada produsen untuk meningkatkan produksinya dan kemudian menawarkannya
kepada konsumen yang membutuhkan. Sebaliknya, semakin rendah suatu harga
produk, semakin berkurang insentif bagi produsen untuk memproduksi dan
menawarkannya. Hal ini disebabkan karena makin rendah suatu harga, makin kecil
suatu keuntungan atau malah timbul kerugian. Sebagai suatu agen ekonomi yang
rasional, produsen akan memutuskan produksinya. Dengan demikian dapatlah
digambarkan dalam sebuah diagram di mana sumbu vertikal adalah harga dan sumbu
horizontal adalah jumlah produk yang ditawarkan kepada masyarakat bahwa kurva
penawaran sebagai kurva yang naik ke kanan. Kedudukan kurva ini bisa berpindah
atau bergeser bergantung kepada faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Di samping itu, ongkos produksi juga merupakan faktor penting dalam
menentukan penawaran suatu produk. Ongkos produksi pada gilirannya ditentukan
oleh harga dari faktor in put. Perubahan dalam harga-harga faktor input umumnya
dikarenakan adanya perubahan dalam laju pajak dan subsidi. Sekalipun
diasumsikan bahwa tidak terjadi perubahan dalam kebijakan fiskal pemerintah
berkaitan dengan perpajakan atau subsidi, masih ada faktor lain yang sangat
berperan dalam menentukan kedudukan penawaran dalam perekonomian konvensional.
Kemajuan teknologi berperan sangat penting dalam mengurangi ongkos produksi
karena perubahan dalam teknologi yang lebih maju memungkinkan dipakainya
cara-cara produksi yang jauh lebih efisien dan tentu saja lebih murah dari pada
sebelumnya.
Dengan demikian dapatlah diringkaskan bahwa aspek penawaran (Qs) dalam
ekonomi konvensional ditentukan oleh beberapa variabel antara lain harga (P),
ongkos produksi (C ), teknologi (T) dan faktor input (Pf), ceteris paribus.
Secara matematis dapat diungkapkan dalam sebuah fungsi umum Qs = f (P, C, T,
Pf). Sekalipun banyak faktor yang mempengaruhi tingkatan penawaran, dalam analisis
ilmu ekonomi hanya menggunakan harga sebagai ukuran utama dalam membuat diagram
penawaran.
Penawaran dalam ekonomi Islam
Secara umum tidak banyak perbedaan antara teori permintaan konvensional
dengan Islami sejauh hal itu dikaitkan dengan variabel atau faktor yang turut
berpengaruh terhadap posisi penawaran. Bahkan bentuk kurva secara umum pada
hakekatnya sama. Satu aspek penting yang memberikan suatu perbedaan dalam
pespektyif ini kemungkinan besara berasal dari landasan filosofi dan moralitas
yang didasarkan pada premis nilai-nilai Islam. Yang pertama adalah bahwa Islam
memandang manusia secara umum, apakah sebagai konsumen atau produsen, sebagai
suatu objek yang terkait dengan nilai-nilai. Nilai-nilai yang paling pokok yang
didorong oleh Islam dalam kehidupan perekonomian adalah kesederhanaan, tidak
silau dengan gemerlapnya kenikmatan duniawi (zuhud) dan ekonomis (iqtishad).
Inilah nilai-nilai yang seharusnya menjadi trend gaya hidup Islamic man.
Yang kedua adalah norma-norma Islam yang selalu menemani kehidupan manusia
yaitu halal dan haram. Produk-produk dan transaksi pertukaran barang dan jasa
tunduk kepada norma ini. Hal-hal yang diharamkan atas manusia itu pada
hakekatnya adalah barang-narang atau transaksi-transaksi yang berbahaya bagi diri
mereka dan kemaslahatannya. Namun demikian, bahaya yang ditimbulkan itu tidak
selalu dapat diketahui dan dideteksi oleh kemampuan indrawi atau akal manusia
dalam jangka pendek. Sikap yang benar dalam menghadapi persoalan ini adalah
kepatuhan kepada diktum disertai pencarian hikmah di balik itu.
Dengan kedua batasan ini maka lingkup produksi dan pada gilirannya adalah
lingkup penawaran itu sendiri dalam ekonomi Islam menjadi lebih sempit dari
pada yang dimiliki oleh ekonomi konvensional. Dengan demikian terdapat dua
penyaringan (filtering) yang membuat wilayah penawaran (domain) dalam ekonomi
Islam menyempit yaitu filosofi kehidupan Islam dan norma moral Islam.
Asumsi-Asumsi
Sekalipun jarang diungkapkan atau bahkan sengaja disembunyikan oleh
buku-buku teks ekonomi konvensional, pada hakekatnya asumsi-asumsi tertentu
telah berfungsi sebagai landasan bagi teori-teori mereka. Ketidakterusterangan
dalam persoalan ini bisa saja dipicu oleh kepercayaan Barat bahwa apa yang
menjadi nilai bagi mereka sebenarnya berlaku juga bagi masyarakat lain. Tokoh
ekonom Barat yang paling egaliter semacam Gunnar Myrdal sekalipun masih
menyimpan sikap etnosentris yang menganggap bahwa nilai-nilai yang menjadi
pondasi kemajuan ekonomi Barat sebenarnya sangat asing bagi masyarakat Asia.
Karena itulah perlu kiranya kita menjelaskan di sini bebarapa asumsi yang
memiliki implikasi dalam aspek penawaran.
Pertama, homo economicus. Dalam ekonomi konvensional, para pelaku dan pemain
ekonomi (economic agent) dipandang sebagai suatu makhluk ekonomi yang berusaha
untuk melampiaskan keinginannya dengan cara apapun. Nafsu ingin memenuhi segala
keinginannya dan cara yang dipakai untuk memenuhinya seringkali atau pada
umumnya tidak dihubungkan secara langsung atau tidak langsung dengan norma
moral, baik yang diambil dari ajaran agama maupun dari filsafat (etiket). Hal
ini menimbulkan dorongan tanpa batas untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi
terhadap sumber-sumber daya yang tersedia di alam bagi pemenuhi keinginan
manusia. Selama usaha manusia dipertaruhkan untuk memenuhi keinginannya,
mengejar keuntungan dalam teori penawaran, selama itu pula ia dianggap sebagau
sebuah usaha yang baik. Hal ini menimbulkan pengurasan sumber daya alam yang
tersedia sehingga berakibat pada terancamnya keseimbangan ekologi terutama bagi
generasi mendatang.
Semua kreasi dan inovasi dipacu dan terus digenjot atas nama ekonomi.
Padahal tidak semua barang atau jasa yang diproduksi tersebut penting untuk
diciptakan bagi kepentingan manusia. Sebagian dari barang yang diproduksi itu
pada hakekatnya suatu bentuk kemubaziran karena sebenarnya tidak perlu
diproduksi atau sebenarnya ada barang lain yang menempati ranking lebih penting
harus terlebih dahulu diproduksi. Hal ini mengakibatkan sistem perekonomian
menjadi tidak dapat dikendalikan (unmanageable).
Dalam perspektif ekonomi Islam, manusia diinjeksi dengan norma moral Islam
sehingga nafsu untuk memenuhi keinginannya tidak selalu dipenuhi. Demikian juga
cara untuk memenuhi keinginan tersebut senantiasa dikaitkan dengan norma moral
Islam yang sellau menemaninya ke mana saja dan di mana saja. Karena itu, semua
barang dan jasa yang diproduksi dan ditawarkan ke pasar mencerminkan kebutuhan
riil dan sesuai dengan tujuan syariah itu sendiri (maqoshidu syariah). Dalam
perspektif ini tidak dimungkinkan produksi barang yang tidak berguna secara
syar’i.
Kedua, rasionalitas. Asumsi kedua ini merupakan turunan dari asumsi yang
pertama. Jika ilmu ekonomi konvensional melihat bahwa manusia adalah economic
man yang selalu didorong untuk melampiaskan keinginannya dengan cara apapun,
maka asumsi rasionalitas merupakan ruhnya yang mengilhami seluruh usahanya
dalam rangka memenuhi keinginannya tersebut. Selama manusia menguras tenaga dan
pikirannya untuk memenuhi keinginannya dengan cara apapun, ia adalah makhluk
rasional. Ketika produsen berusaha memaksimalkan keuntungan an sich, dengan
mengabaikan tanggung jawab sosial, ia adalah makhluk rasional dan tidak perlu
dikhawatirkan. Begitu juga dengan konsumen yang ingin memaksimalkan nilai guna
(utility) ketika membeli suatu produk, maka ia berjalan pada jalur rasionalitas
dan hal itu secara ekonomi adalah baik.
Dalam perspektif ekonomi Islam, asumsi ini tetap menjadi acuan tetapi
dengan beberapa catatan dan tambahan. Adanya injeksi norma moral Islam akan
menjadi pelita bagi tiap-tiap agen ekonomi untuk bertindak rasional tetapi
dalam kerangka nilai-nilai Islam. Gaya hidup sederhana, tidak berlebih-lebihan
dalam memproduksi dan mengkonsumsi serta selalu memperhatikan batas halal dan haram
merupakan rambu-rambu yang akan memberikan teguran kepada Islamic man. Ketiga,
netral terhadap nilai (value neutral). Asumsi ini merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari disiplin ilmu ekonomi konvensional yang dipandang sebagai
disiplin positif. Tugas dari suatu disiplin yang positif adalah menggambarkan
realitas atau suatu fenomena secara objektif tanpa ada unsur campur tangan dari
pengamat. Di awal-awal perkembangan ilmu ekonomi menjadi suatu disiplin ilmiah,
banyak pakarnya yang cenderung menjadikannya sebagai suatu ilmu positif dan
eksak layaknya fisika atau kimia.
Sekalipun hingga sekarang terbukti bahwa ilmu ekonomi konvensional tidak
selalu positif, tetapi buku-buku teks masih selalu alergi jika dikaitkan dengan
moral terutama yang berasal dari nilai-nilai keagamaan. Gejala ini disebabkan
karena sekulerisme dalam ilmu pengetahun telah mencapai akar-akarnya sehingga
buah yang muncul dari ilmu pengetahun itu sudah terkena racun sekulerisme.
Namun perlu dicatat bahwa asumsi netral terhadap nilai ini tidak selalu dapat
dipertahankan. Umumnya dalam bidang ilmu mikro ekonomi akar netralitas ini
begitu kuat dan menghujam, tetapi dalam makro ekonomi tidak demikian. Malahan
kita dapat melihat bahwa semua tujuan-tujuan pokok dalam bidang makroekonomi pada
hakekatnya adalah bermuatan nilai (value laden) misalnya tentang kesempatan
kerja penuh (full employment), stabilitas nilai tukar dan harga dan lain-lain.
Bahkan kebijakan pemerintah di hampir semua bidang tidak pernah terlepas dari
nilai-nilai.
Adanya keterikatan kepada nilai dalam penawaran tidak menjadikan kinerja
produksi dan penawaran dalam perspektif Islam kekurangan insentif. Dengan
injeksi moral Islam justru membuka dan mempeluas horizon dan berfungsi
mendorong agen ekonomi untuk berusaha dengan lebih baik dan efisien. Bagi
mereka yang memahami Islam secara parsial dan tidak komprehensif merasa bahwa
semua nilai-nilai ini hanya berfungsi sebagai hambatan dalam ekonomi dan
pembangunan. Kesimpulan ini amat naif dan terkesan tergesa-gesa serta dilatarbelakangi
oleh kebodohan. Wallau a’lam bisshowab