Allah Ta'ala berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu agar kamu selalu ingat." (QS. An-Nuur [24]: 27)
"Maka apabila kamu memasuki (suatu rumah dari) rumah-rumah ini hendaklah kamu memberi salam (kepada penghuninya yang berarti memberi salam) kepada dirimu sendiri, salam yang ditetapkan dari sisi Allah, yang diberi berkat lagi baik" (Qs. An-Nuur [24]: 61).
"Apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau balaslah dengan yang serupa." (QS. An-Nisaa [4]: 86).
Disebutkan pula dalam Shahih Muslim dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda,
لا تدخلوا الجنة حتى تؤمنوا، ولا تؤمنوا حتى تحابوا، أولا أدلكم على شيء إذا فعلتموه تحابيتم، أفشوا السلام بينك.
"Kalian tidak akan masuk surga hingga kalian beriman dan tidaklah kalian beriman hingga kalian saling mencintai, maukah kalian kutunjuki sesuatu yang jika kalian melakukannya niscaya kalian akan saling mencintai; sebarkanlah salam diantara kalian."
Karena itu, maka Allah Ta'ala telah menjadikan penghormatan yang baik lagi diberkahi ini sebagai ikatan kasih, cinta, dan persaudaraan antara muslim dengan muslim yang lainnya dan antara hati yang lainnya.
Maka itu, sepantasnyalah jika seseorang mengucapkannya dengan lafazh dan makna yang lengkap, yaitu "Assalamu'alaikum warahmatullahi wa barakatuhu." (semoga Allah memberimu keselamatan, rahmat dan berkahnya).
Penulis kitab Al Iqna' berkata, "Bagi seorang diri, memulai salam itu adalah sesuatu yang sunah dan bagi suatu jama'ah maka hukumnya adalah sunah kifayah. Jika seseorang telah mengucapkan salam kepada saudaranya dan tidak lama berselang ia kembali menjumpainya; maka disunnahkan untuk memberi salam; dua kali, tiga kali atau lebih. Dan hendaklah ia tidak meninggalkan salam, meskipun ia yakin bahwa saudaranya itu tidak akan menjawab salamnya."
Seorang yang sendirian wajib 'ain atasnya untuk menjawab salam sedangkan jika terdapat beberapa orang yang diberi salam, maka hukum menjawab salam bagi mereka adalah fardhu kifayah.
Wajib menambahkan kata "Wa" pada lafazh "Wa 'alaikum as-salam" tatkala menjawab salam.
Memberi salam kepada seorang wanita ajnabiyyah (halal dinikahi) adalah makruh kecuali jika wanita tersebut sudah tua atau tatkala aman dari fitnah.
Sebagaimana hal ini (memberi salam) juga makruh untuk dilakukan oleh seorang yang sedang membaca Al Qur'an, sedang berdzikir, sedang membacakan hadits, khathib dan lain-lain; juga hal ini dimakruhkan atas orang orang yang sedang mendengarkan mereka.
Dosa orang yang mengucilkan saudaranya (tidak menyapanya lebih dari tiga hari) akan lenyap dengan salam.
Disunnahkan untuk memberi salam tatkala berpisah, atau tatkala masuk ke dalam rumah yang berpenghuni maupun kosong, demikian pula tatkala ia masuk ke dalam masjid yang kosong. Namun tatkala ia masuk kedalam rumah yang tak berpenghuni, disunnahkan baginya untuk mengatakan "As-salamu'alaina wa 'ala ibadillahi ash-shalihina." (semoga keselamatan tercurah kepada kami dan kepada seluruh hamba Allah yang shalih).
Lafazh salam boleh diucapkan dengan mengatakan "As-salaamu 'alaikum dan jawabannya boleh diucapkan dengan mengatakan "Wa 'alaikum as-salaam. Adapun lafazh salam yang sempurna, yaitu, “As-salaamu 'alaikum wa rahmatullahi wa barakatuhu" dan jawaban yang sempurna dari salam ini, yaitu "Wa 'alaikum as-salam wa rahmatullahi wa barakatuhu."
Diharamkan bagi seorang lelaki berjabat tangan dengan wanita ajnabiyyah (yang bukan mahram).
Adapun lelaki dengan lelaki dan wanita dengan wanita, maka berjabat tangan antara mereka adalah suatu hal yang disunnahkan. Dan hendaknya seorang yang dijabat tangannya tidak melepaskan (menarik tangannya hingga saudaranya itu yang melepaskannya, terkecuali jika ada suatu keperluan atau udzur akan hal tersebut.
Dan tidak mengapa untuk berpelukan, mencium kepala atau mencium tangan seorang alim ulama dan yang semisalnya.
Berdasarkan sabda beliau, "Apabila engkau bertemu dengannya hendaklah engkau memberikan salam kepadanya”
Perintah di sini menunjukkan wajib hukumnya memulai mengucapkan salam. Hanya saja Ibnu Abdil Bar dan lain-lain menukil bahwa memulai salam hukumnya sunnah dan menjawab salam hukumnya wajib. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim menyebutkan bahwa perintah menyebarkan salam merupakan sebab timbulnya rasa kasih sayang.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim disebutkan bahwasanya sebaik-baik amalan adalah memberi makan orang lain, mengucapkan salam kepada orang yang engkau kenal dan yang tidak engkau kenal.
Amar berkata, Ada tiga perkara, jika ketiga perkara tersebut ada pada diri seseorang berarti keimanannya telah sempurna:
- Sikap inshaf terhadap diri sendiri.
- Menebarkan salam ke seluruh alam.
- Berinfak di saat sulit.
Sungguh di dalam ketiga kalimat ini telah terkandung semua kebaikan.
As-Salaam adalah salah satu dari nama Allah Ta'ala yaitu penyelamat. Ucapan assalaamu'alaikum artinya semoga Allah menyelamatkan kalian, yakni kalian di bawah penjagaan Allah. Sebagaimana dikatakan Allah ma'aka artinya semoga Allah bersamamu.
Ada juga yang berpendapat as-salaam artinya keselamatan, yaitu semoga Allah senantiasa menyelamatkan kalian.
Ucapan salam yang paling pendek adalah as-salaamu 'alaikum, walaupun salam tersebut diucapkan kepada satu orang muslim saja, agar malaikat juga termasuk dalam ucapan tersebut. Kalimat yang sempurna adalah dengan menambahkan kalimat warahmatullaahi wa barakaatuh, Boleh juga dengan mengucapkan as-salaamu' alaika dan salaamun' alaika dalam bentuk tunggal dan menakirahkan kata salam. Jika ucapan salam ditujukan kepada satu orang maka wajib 'ain baginya untuk menjawab salam tersebut, dan apabila satu kelompok maka hukumnya fardhu kifayah. Sebuah hadits mengatakan
“Apabila serombongan orang berjalan, maka cukup salah seorang saja dari mereka ynng memberikan salam.”
Apabila sekelompok orang melintas maka cukup salah seorang saja dari mereka yang memberikan salam. Untuk kondisi seperti ini hukumnya sunnah kifayah. Ketika menjawab salam disyariatkan untuk segera menjawabnya. Jika orang yang memberi salam tidak berada di tempat maka dibalas melalui surat atau melalui perantara utusan. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
"Hendaklah Orang yang berkendaraan memberikan salam kepada orang yang berjalan, orang yang berjalan kepada orang yang duduk dan rombongan yang sedikit kepada rombongan yang banyak”
Dari sabda beliau: hak seorang muslim terhadap muslim yang lain, menunjukkan bahwa salam yang diucapkan seorang kafir dzimmi tidak wajib untuk dijawab. Rasulullah bersabda,
“Janganlah kamu tebih dahulu memberi salam kepada orang Yahudi atau Nasrani”
Akan datang penjelasan tentang hadits ini.
Sabda beliau "Jika kamu bertemu dengannya" menunjukkan bahwa salam tidak diucapkan ketika hendak berpisah. Hanya saja di dalam sebuah hadits Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda:
“Apabila salah seorang kamu duduk (di majlisnya) maka hendaklah ia ucapkan salam dan apabila ia bangkit (dari majlisnya) maka hendaklah ia mengucapkan salam. Karena tidaklah ucapan salam yang pertama itu lebih wajib ketimbang ucapan salam yang kedua."
Hadits ini tidak mengaitkan ucapan salam ketika bertemu. Kemudian yang dimaksud dalam hadits: jika kamu bertemu dengannya adalah, selama tidak ada yang memisahkan keduanya, seperti yang tertera di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud:
“Apabila salah seorang di antnra kalian bertemu dengan saudaranya hendaklah ia mengucapkan salam kepadanya. Apnbila mereka dipisahkan oleh sebatang pohon atau dinding atau sebongkah batu lalu ia kembali bertemu, maka hendaklah ia kembali mengucapkan salam kepadanya.”
Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu berkata, "Dahulu shahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam jalan bersama dan apabila dihadapan mereka ada sebatang pohon atau tempat sampah mereka pun berpisah, sebagian ke kiri dan sebagian lagi ke kanan. Ketika mereka bertemu kembali, mereka saling mengucapkan salam.
Referensi:
- Kitab Syarah Bulughul Maram karya Abdullah bin Abdurrahman Al Bassam: Pustaka Azzam
- Kitab Subulussalam karya Muhammad bin Ismail al-Amir ash-Shan’ani: Darus Sunnah