Terdapat dua sistem
penanggalan yang digunakan oleh Keraton Yogyakarta, kalender Masehi dan
kalender Jawa. Kalender Masehi digunakan untuk urusan administrasi keraton yang
selaras dengan kegiatan masyarakat umum, sedang kalender Jawa digunakan sebagai
patokan untuk upacara-upacara adat yang diselenggarakan oleh keraton. Kalender
Jawa juga disebut sebagai Kalender Sultan Agungan karena diciptakan pada
pemerintahan Sultan Agung (1613-1645). Sultan Agung adalah raja ketiga dari
Kerajaan Mataram Islam.
Sistem penanggalan masyarakat Jawa sebelum memasuki era Mataram-Islam masih
memakai sistem kalender tahun Saka. Seperti telah disinggung di awal,
masyarakat etnis Jawa tentu sangat mengenal folklore Raja Aji Saka.
Sosok legenda ini selalu dihubungkan dengan kemunculan aksara
ha-na-ca-ra-ka, tokoh Raja Aji Saka juga sekaligus dimitoskan sebagai pencipta
huruf Jawa. Denys Lombard menggarisbawahi, dalam legenda Raja Aji Saka ini
telah terjadi persilangan yang sangat kuat antara budaya Jawa dan India.
Konon, datang dari India dan menetap di Medang Kamulan. Raja Aji Saka
sanggup menghalau semua raksasa yang gentayangan di Pulau Jawa, mengembalikan
keseimbangan yang goyah, mengembalikan ketertiban, dan membangun peradaban,
serta menciptakan huruf Jawa. Dari nama Raja Aji Saka itulah diduga istilah
Tahun Saka juga bermula.
Meski demikian, sebenarnya tetap tidak diketahui secara pasti sejak
kapan sistem Tahun Saka ini telah digunakan di Indonesia. Konon, sejalan dengan
masuknya agama Hindu-Budha dari India.
Sejak kapan tahun Saka mulai dikenakan? Sebutlah Prasasti Kedukan Bukit
dari Kerajaan Sriwijaya, misalnya, sejauh ini prasasti beraksara Pallawa berangka
605 tahun Saka atau 683 Masehi ditengarai adalah yang tertua.
Sebelum periode ini, sebenarnya telah ditemukan prasasti yang notabene
berusia lebih tua. Prasasti Mulawarman, misalnya, ditemukan di Kutai dan
diperkirakan ditulis awal abad ke-5 Masehi. Atau juga Prasasti Kebun Kopi,
ditemukan di Bogor dan diestimasi juga berasal dari kisaran abad ke-5.
Namun perkiraan abad ke-5 Masehi pada kedua prasasti itu sebenarnya
bukan berasal dari catatan angka tahun yang tertera secara definitif dalam
prasasti, melainkan sesungguhnya lebih ditafsirkan dari asumsi bentuk gaya
penulisan, jenis bahasa, dan huruf yang dikenakan saat itu.
Dari berbagai sumber disebutkan, bahwa memasuki era Kerajaan Majapahit
praktis Tahun Saka telah digunakan sebagai penanda waktu di Nusantara. Bahkan,
konon, pergantian tahun Saka saat itu dirayakan secara resmi, yaitu setiap
masuk bulan Caitra (Maret).
Sistem kalender Saka terdiri dari 12 bulan. Merujuk pada sistem
luni-solar. Selisih perbedaan antara Tahun Saka dan Tahun Masehi terpaut 78
Tahun. 1 Tahun Saka ialah 79 Tahun Masehi.
Pada masa itu, masyarakat Jawa menggunakan kalender Saka yang berasal dari
India. Kalender Saka didasarkan pergerakan matahari (solar), berbeda dengan
Kalender Hijriyah atau Kalender Islam yang didasarkan pada pergerakan bulan
(lunar). Oleh karena itu, perayaan-perayaan adat yang diselenggarakan oleh
keraton tidak selaras dengan perayaan-perayaan hari besar Islam.
Sultan Agung menghendaki agar perayaan-perayaan tersebut dapat bersamaan
waktu. Untuk itulah diciptakan sebuah sistem penanggalan baru yang merupakan
perpaduan antara kalender Saka dan kalender Hijriyah. Sistem penanggalan inilah
yang kemudian dikenal sebagai kalender Jawa atau kalender Sultan Agungan.
Kalender ini meneruskan tahun Saka, namun melepaskan sistem perhitungan yang
lama dan menggantikannya dengan perhitungan berdasar pergerakan bulan.
Tahun Jawa, atau tahun Jawa Islam Sultan Agung, memiliki berbagai macam
siklus. Siklus harian yang masih dipakai sampai saat ini adalah saptawara (
siklus tujuh hari) dan pancawara (siklus lima hari). Saptawara, atau padinan,
terdiri dari Ngahad (Dite), Senen (Soma), Selasa (Anggara), Rebo (Buda), Kemis
(Respati), Jemuwah (Sukra), dan Setu (Tumpak). Siklus tujuh hari ini sewaktu
dengan siklus mingguan pada kalender Masehi; Minggu, Senin, Selasa, Rabu,
Kamis, Jumat,dan Sabtu. Seperti pada penanggalan lainnya, kalender Jawa
memiliki dua belas bulan. Bulan-bulan tersebut memiliki nama serapan dari
bahasa Arab yang disesuaikan dengan lidah Jawa; Sura, Sapar, Mulud, Bakdamulud,
Jumadilawal, Jumadilakhir, Rejeb, Ruwah, Pasa, Sawal, Dulkangidah, dan Besar.
Umur tiap bulan berselang-seling antara 30 dan 29 hari.
Meski demikian, masih ada perbedaan perhitungan antara tahun Jawa dan
tahun Hijiriyah. Tiap 120 tahun sekali, akan ada perbedaan satu hari pada kedua
sistem penanggalan tersebut. Maka pada saat itu tahun Jawa diberi tambahan satu
hari. Periode 120 tahun ini disebut dengan khurup. Sampai
awal abad 21 ini, telah terdapat empat khurup; Khurup
Jumuwah Legi/Amahgi (1555 J-1627 J/1633 M-1703 M), Khurup
Kemis Kliwon/Amiswon (1627 J-1747 J/1703 M-1819 M), Khurup
Rebo Wage/Aboge (1867 J-1987 J/1819 M-1963 M), dan Khurup
Selasa Pon/Asapon (1867 J-1987 J/1936 M-2053 M). Nama khurup yang
berlangsung mengacu pada jatuhnya hari pada tanggal 1 bulan Sura tahun Alip.
Pada Khurup Asapon, tanggal 1 bulan Sura tahun Alip akan
selalu jatuh pada hari Selasa Pon selama kurun waktu
120 tahun.
Kalender Sultan Agungan yang dimulai pada Jumat Legi tanggal 1 Sura
tahun Alip 1555 J, atau 1 Muharram 1043 H, atau 8 Juli 1633. Peristiwa ini
terdapat pada Windu Kuntara Lambang Kulawu dan ditandai dengan candra sengkala
yang berbunyi “Jemparingen Buta Galak Iku” (Panahlah raksasa buas itu).
Sejak saat itu, Kerajaan Mataram dan penerusnya mampu menyelenggarakan
perayaan-perayaan adat seirama dengan hari-hari besar Islam. Upacara-upacara
tradisi seperti Garebeg tidak menjadi halangan bagi perkembangan Islam, namun
malah dimanfaatkan sebagai syiar agama itu sendiri. Sistem penanggalan baru ini
merupakan upaya seorang pemimpin yang berpandangan jauh ke depan untuk
menggabungan dua arus peradaban pada masa itu, sebuah rekonsilasi antara
gelombang kebudayaan Islam dengan peradaban pra Islam. Peradaban baru yang kini
dikenal sebagai Mataram Islam.
Sumber:
www.kratonjogja.id
www.indonesia.go.id